Kamis, 23 April 2009

John Adhiguna : 35 Tahun di Radio Siaran

Tiga puluh lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mencapai sebuah prestasi di tengah kompetensi tinggi dengan bermunculannya generasi muda yang siap bersaing dan mengambil posisi tempat berpijak. “Jikalau bukan karena campur tangan Tuhan dalam hidup, saya tidak akan mampu bertahan.” Demikian pengakuan tulus dan rendah hati John Adhiguna kepada Atmosfir di lantai 6, Studio RRI Pro1, Jakarta Pusat (9/3).

Keterlibatannya Bung John, demikian kerap disapa, sebagai penyiar radio siaran diawali dengan terbiasa mendengar radio pada tahun 70-an kemudian merintis perlahan menjadi pengisi acara, bermain dalam sandiwara radio yang marak pada masa itu sampai akhirnya berkarir dan mendapat honor di radio yang disebutnya sebagai titik awal kariernya. “Waktu itu terlibat sebagai penyiar acara remaja, membacakan puisi-puisi pilihan pendengar, dan melanjutkan keterlibatan dalam sandiwara-sandiwara radio yang sangat diminati pendengar,” kenang John dengan sorot mata menerawang, berusaha mengingat masa-masa kejayaan radio.


Sebagai praktisi media elektronik, John sangat memahami perkembangan media radio dari tahun ke tahun. “Tahun 70-an radio mengalami masa keemasan, atau dikenal dengan istilah era “golden voice” dimana penyiar radio dikenal karena memiliki suara ‘merdu’ membuat siapa saja yang mendengarkan. Sebelum tahun 74, tutur John, radio bersifat non komersil, dan setelah tahun 74 barulah radio muncul sebagai media komersil. Berangkat dari sini semakin banyak orang melamar sebagai karyawan radio untuk mendapatkan honor, gaji. “Di era ‘golden voice’ tersebut John mengaku tak hanya sebagai penyiar biasa, ia juga terlibat mewawancarai artis dan tokoh untuk promosi album, juga merambah hingga ke penulisan naskah sandiwara radio.


“Memasuki era 80-an radio condong ke hiburan semata, mereka yang bekerja di radio juga terjun ke dalam dunia panggung sebagai pembawa acara atau promotor acara. Seiring bergulirnya waktu, era golden voice semakin ditinggalkan. Tahun 90-an radio memasuki era jurnalistik. Dimana para praktisi radio tidak hanya dituntut pandai menghibur tapi juga merangkap sebagai jurnalis. “Penyiar radio harus cerdas.” Dalam arti mereka harus mampu menyediakan sumber informasi yang dibutuhkan pendengarnya. Tak heran bila penyiar melakoni profesi ganda sekaligus sebagai wartawan, “tuturnya.


Memasuki periode 90 sampai 2000-an, radio kian dituntut gesit mengembangkan kapasitas dan kemampuannya. Aspek pendekatan terhadap segmen tertentu begitu ditekankan diimbangi dengan jurnalistik radio yang memadai. Perkembangan setelah era reformasi muncullah radio-radio komunitas melalui keputusan pemerintah yang kini menjamur dimana-mana.


Bertahan melalui 3 dekade dengan kesulitannya masing-masing menjadi kebanggan tersendiri bagi pria yang juga berprofesi sebagai pendeta ini. Ketika ditanya keterkaitan antara profesinya sebagai pendeta dengan radio, John berpendapat bahwa radio dapat dijadikan sarana bagi hamba-hamba Tuhan atau gereja untuk pelayanan. Ditambah lagi maraknya bermunculan radio-radio Kristen pada era 90-an mulai dari frekuensi AM kemudian FM sampai ke radio komunitas. “Memang sebagian ada yang sifatnya murni pelayanan, tapi juga ada yang komersil.”


Pengalaman panjang merintis karir di bidang radio menjadikan John bijak menilai segala sesuatunya. Awalnya ia menilai kariernya di radio sama sekali tidak terkait dengan pelayanan meski pernah merintis dan bekerja di sebuah radio rohani Kristen. Toh seiring waktu John menyadari bahwa karier di radio yang digelutinya merupakan bagian pelayanan dan kepercayaan Tuhan atasnya. Dalam kurun waktu selama 35 tahun, John terlibat dalam pembuatan renungan sampai dengan siaran acara rohani di beberapa stasiun radio Kristen. “Itu semua baru saya sadari setelah era radio sekarang,” ungkapnya.


Perjuangan panjang melalui 3 dekade menjadi pengalaman berharga yang hendak diwariskannya kepada generasi muda dibawahnya. Di mata John karier dalam bidang penyiaran bisa dijadikan pilihan masa depan. “Tentu saja selama ada ketekunan dan passion.” Lebih jauh, menurutnya bidang radio tidak hanya sebatas cuap-cuap dan mengirim lagu melainkan terkait erat dengan bidang jurnalistik. Bagaimana mengemas informasi dengan baik dimana di dalamnya menyangkut produksi berita, bentuk wawancara, dialog, reportase dan sebagainya. Mencermati hal tersebut, John memiliki kerinduan untuk membekali generasi muda dengan memberikan pelatihan jurnalistik radio dalam waktu dekat.


Sebagai hamba Tuhan yang kerap berkhotbah di gereja Tiberias ini, John memiliki kerinduan agar radio dapat dijadikan sarana untuk memberitakan “kabar baik” melalui peran generasi muda. Apalagi radio menjangkau hampir seluruh pelosok nusantara. Disisi lain John mengucap syukur atas dukungan dan keterlibatan banyak pengusaha untuk membantu pengembangan radio Kristen di sejumlah tempat. “Bagaimanapun pekerjaan Tuhan tidak boleh terhenti.” [Aurora]

Marijani Ramli : Semangkuk Kacang Merah

Nama Marijani, tiba-tiba saja menjadi buah bibir dan banyak yang bertanya, seperti apakah sosok wanita cantik ini? Sepintas ia memang dikenal sebagai pebisnis tangguh di bidang usaha butik dan permata. Sedikit saja yang mengetahui kalau wanita kelahiran Bangka ini pernah aktif sebagai manajer kampanye caleg2 (calon legislatif) potensial. Perannya membangun kebersamaan diantara tokoh-tokoh lintas agama sangat menonjol.

Marijani lahir di pulau Bangka 45 tahun silam dengan nama Liu Siaw Fung atau Afung. Kota Bangka mengingatkan kita pada kerupuk, kemplang dan terasi. Juga keindahan alam pesisir di pantai Parai, Tanjung Pesona, Pasir Padi atau Batu Bedaun. Belum lagi peninggalan sejarah Sriwijaya, ada juga Benteng Kuto Panji atau Tugu Pahlawan 12.


Sifat masyarakat Bangka sangat lekat dengan sosok Marijani, jiwa gotong royong dan rasa kebersamaan bagi yang memerlukan bantuan begitu menyatu dalam dirinya. Landasan kebiasaan ini dikenal dengan istilah Sepintu Sedulang yang tercermin saat panen lada, acara-acara adat, peringatan hari-hari besar keagamaan, perkawinan dan kematian.


Sebagai penggerak motivasi di belakang layar, ia sangat “berpengalaman” menjalin komunikasi dengan siapapun, tak heran bila hampir semua elit partai mengenalnya. Sejak lama, kedekatannya dengan tokoh-tokoh Nasional membawa Marijani sebagai kepanjangan tangan suara-suara masyarakat.


Ditengah padatnya acara Deklarasi Partai Kedaulatan yang mengusung suaminya, Rizal Ramli sebagai calon presiden, Marijani menerima Atmosfir di lantai 2 Rumah Perubahan, Jln. Panglima Polim, Jakarta Selatan. Percakapan dibuka dengan bagaimana pandangan Marijani Rizal Ramli tentang kriteria seorang pemimpin bangsa. Setelah mengatur posisi duduk, Marijani mulai mengeluarkan pendapat bahwa selain memiliki pengalaman memimpin, ”tentu harus memiliki jejak rekam moral yang baik, hati yang lembut dan berbelas-kasihan, berani, tegas dan konsisten melakukan upaya terobosan-terobosan untuk kepentingan masyarakat, artinya keberpihakan kepada rakyat selaras dengan hukum, etika dan kebenaran. Tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan berpikir atau intelegensia saja.” Menurut Marijani, pemimpin bangsa harus pandai memotivasi dan tampil karismatik. ”Ia tidak saja membawa mandat rakyat, tetapi mengelola apa yang Tuhan sudah percayakan kepada dirinya. Ia wajib membawa rakyatnya, memimpin dan membawa bangsanya kepada hari esok yang lebih baik.”


”Sebagai umat beragama, adalah mustahil bila Tuhan merencanakan bencana dan keterpurukan bagi bangsa Indonesia. Bila saja terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, selayaknya pemimpin bangsa harus bercermin ada apa dengan perilaku dirinya selama ini. Adakah ia membiarkan ketidak-adilan merajalela? Membiarkan benih-benih dendam bertumbuh di hati rakyat? Atau menelantarkan kekayaan alam tergerus keserakahan? Jangan salahkan takdir bila kemiskinan bertumbuh dan bertambah, tetapi ada sesuatu yang perlu mengalami perubahan.”


Bicara soal perubahan, Marijani menarik napas panjang. ”Saya ini orang desa, lahir di Bangka. Usia 12 tahun kami pindah ke Jakarta. Desa saya itu tidak punya listrik, apalagi jaringan telepon, sekolah sampai tingkat SD saja, tidak punya pasar, tidak punya puskesmas, apalagi rumah sakit. Waktu masih usia 7-9 tahun, saya sering main di pesisir pantai berhadapan dengan desa kami. Saya menyaksikan banyak kapal mengeruk timah disitu. Ketika kemarin berkunjung ke desa itu, masih banyak kapal mengeruk timah. Rentang waktu 35 tahun, desa itu tidak berkembang apa-apa, yang ada jalanan makin rusak dan kumuhnya sanitasi disana.


Sebagai rakyat kecil, rakyat biasa, Marijani mencoba melihat bangsa ini dengan arif. Secara logika dan cara berpikir yang sederhana, ungkap Marijani, seharusnya rakyat makmur dan sejahtera. Kekayaan alam yang melimpah ruah, besarnya potensi tanah yang subur, belum lagi keindahan alam yang rakyat miliki. ”Dari bangsa ini harusnya bermunculan gagasan-gagasan cemerlang, dari bangsa ini bergulir pemikiran-pemikiran yang cerdas, sehingga mampu menguasai sebagian besar lahan perdagangan dunia. Tetapi bagaimana dengan fakta yang ada sekarang? Itulah sebabnya perlu diadakan perubahan segera,” tegasnya.


Sejak reformasi bergulir, lengsernya Soeharto, masalah kebebasan beragama dan kebebasan beribadah menjadi rentan dan kerap bersinggungan. Oleh sebab itu, negara ini, menurut Marijani, perlu dipimpin oleh tokoh tegas, moderat tapi bisa mengakomodir kepentingan-kepentingan seluruh elemen bangsa. Artinya konflik untuk kebebasan beribadah ataupun antar agama naik cukup tajam dan disesali tanpa penyelesaian tuntas. ”Saya meyakini, bila terpilih menjadi presiden, pak Rizal Ramli akan membawa terobosan bagi kehidupan pluralisme bangsa ini.”


Marijani memberi contoh ”Contohnya sangat sederhana, Saya beragama Kristen dan seorang keturunan Chinese, tapi pak Rizal Ramli mau menjalin hubungan dengan saya sampai akhirnya kami menikah.” Hal ini, menurut Marijani, sebagai indikasi betapa Rizal Ramli sangat terbuka menerima perbedaan-perbedaan dalam konteks perbedaan suku, agama dan budaya. ”Itu yang harus diperlihatkan dan dilaksanakan, jadi bukan cuma sekedar simbol atau janji kosong. Kenyataannya kita masih membeda-bedakan suku, kaum, bangsa dan agama dan tidak berbicara tentang Pancasila lagi,” tegas Marijani.


Pemilu nanti, ia berharap umat Kristen tidak terprovokasi oleh berbagai tokoh-tokoh berlabel agama . ”Tapi saya melihat rakyat kita karena memang belum mendapat hikmat, masih tinggal didalam kebodohan dan kemiskinan, mereka melakukan tindakannya itu dengan berpikir pendek. Ketika datang orang-orang yang gila kekuasaan, lalu menjual-belikan hak suara mereka, mereka pun rela menjual suara mereka dengan uang 30ribu, 50ribu. Saya melihat bahwa jangan sampai kita mengulangi lagi kesalahan seperti Esau, Marijani mengutip kisah populer dalam Alkitab, ketika pada waktu dia lapar, ketika ditawar hak kesulungannya yang dijual dengan semangkok kacang merah, dan akhirnya Allah bilang ”Aku membenci Esau”. Kenapa Allah berkata demikian, karena Esau tidak punya visi dan misi dalam hidupnya. Dia rela menjual hak kesulungannya dengan semangkok kacang merah. Ini teguran bagi seluruh rakyat kita, untuk tidak bertindak bodoh. Marijani juga menghimbau agar umat Kristen dimanapun berada, tidak terbuai dengan ’kenyamanan’ diri sendiri. ”Jangan hanya menjadi garam di laut, tetapi jadilah terang dan garam dunia”. [Saraoshi]