Marijani lahir di pulau Bangka 45 tahun silam dengan nama Liu Siaw Fung atau Afung. Kota Bangka mengingatkan kita pada kerupuk, kemplang dan terasi. Juga keindahan alam pesisir di pantai Parai, Tanjung Pesona, Pasir Padi atau Batu Bedaun. Belum lagi peninggalan sejarah Sriwijaya, ada juga Benteng Kuto Panji atau Tugu Pahlawan 12.
Sifat masyarakat Bangka sangat lekat dengan sosok Marijani, jiwa gotong royong dan rasa kebersamaan bagi yang memerlukan bantuan begitu menyatu dalam dirinya. Landasan kebiasaan ini dikenal dengan istilah Sepintu Sedulang yang tercermin saat panen lada, acara-acara adat, peringatan hari-hari besar keagamaan, perkawinan dan kematian.
Sebagai penggerak motivasi di belakang layar, ia sangat “berpengalaman” menjalin komunikasi dengan siapapun, tak heran bila hampir semua elit partai mengenalnya. Sejak lama, kedekatannya dengan tokoh-tokoh Nasional membawa Marijani sebagai kepanjangan tangan suara-suara masyarakat.
Ditengah padatnya acara Deklarasi Partai Kedaulatan yang mengusung suaminya, Rizal Ramli sebagai calon presiden, Marijani menerima Atmosfir di lantai 2 Rumah Perubahan, Jln. Panglima Polim, Jakarta Selatan. Percakapan dibuka dengan bagaimana pandangan Marijani Rizal Ramli tentang kriteria seorang pemimpin bangsa. Setelah mengatur posisi duduk, Marijani mulai mengeluarkan pendapat bahwa selain memiliki pengalaman memimpin, ”tentu harus memiliki jejak rekam moral yang baik, hati yang lembut dan berbelas-kasihan, berani, tegas dan konsisten melakukan upaya terobosan-terobosan untuk kepentingan masyarakat, artinya keberpihakan kepada rakyat selaras dengan hukum, etika dan kebenaran. Tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan berpikir atau intelegensia saja.” Menurut Marijani, pemimpin bangsa harus pandai memotivasi dan tampil karismatik. ”Ia tidak saja membawa mandat rakyat, tetapi mengelola apa yang Tuhan sudah percayakan kepada dirinya. Ia wajib membawa rakyatnya, memimpin dan membawa bangsanya kepada hari esok yang lebih baik.”
”Sebagai umat beragama, adalah mustahil bila Tuhan merencanakan bencana dan keterpurukan bagi bangsa Indonesia. Bila saja terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, selayaknya pemimpin bangsa harus bercermin ada apa dengan perilaku dirinya selama ini. Adakah ia membiarkan ketidak-adilan merajalela? Membiarkan benih-benih dendam bertumbuh di hati rakyat? Atau menelantarkan kekayaan alam tergerus keserakahan? Jangan salahkan takdir bila kemiskinan bertumbuh dan bertambah, tetapi ada sesuatu yang perlu mengalami perubahan.”
Bicara soal perubahan, Marijani menarik napas panjang. ”Saya ini orang desa, lahir di Bangka. Usia 12 tahun kami pindah ke Jakarta. Desa saya itu tidak punya listrik, apalagi jaringan telepon, sekolah sampai tingkat SD saja, tidak punya pasar, tidak punya puskesmas, apalagi rumah sakit. Waktu masih usia 7-9 tahun, saya sering main di pesisir pantai berhadapan dengan desa kami. Saya menyaksikan banyak kapal mengeruk timah disitu. Ketika kemarin berkunjung ke desa itu, masih banyak kapal mengeruk timah. Rentang waktu 35 tahun, desa itu tidak berkembang apa-apa, yang ada jalanan makin rusak dan kumuhnya sanitasi disana.
Sebagai rakyat kecil, rakyat biasa, Marijani mencoba melihat bangsa ini dengan arif. Secara logika dan cara berpikir yang sederhana, ungkap Marijani, seharusnya rakyat makmur dan sejahtera. Kekayaan alam yang melimpah ruah, besarnya potensi tanah yang subur, belum lagi keindahan alam yang rakyat miliki. ”Dari bangsa ini harusnya bermunculan gagasan-gagasan cemerlang, dari bangsa ini bergulir pemikiran-pemikiran yang cerdas, sehingga mampu menguasai sebagian besar lahan perdagangan dunia. Tetapi bagaimana dengan fakta yang ada sekarang? Itulah sebabnya perlu diadakan perubahan segera,” tegasnya.
Sejak reformasi bergulir, lengsernya Soeharto, masalah kebebasan beragama dan kebebasan beribadah menjadi rentan dan kerap bersinggungan. Oleh sebab itu, negara ini, menurut Marijani, perlu dipimpin oleh tokoh tegas, moderat tapi bisa mengakomodir kepentingan-kepentingan seluruh elemen bangsa. Artinya konflik untuk kebebasan beribadah ataupun antar agama naik cukup tajam dan disesali tanpa penyelesaian tuntas. ”Saya meyakini, bila terpilih menjadi presiden, pak Rizal Ramli akan membawa terobosan bagi kehidupan pluralisme bangsa ini.”
Marijani memberi contoh ”Contohnya sangat sederhana, Saya beragama Kristen dan seorang keturunan Chinese, tapi pak Rizal Ramli mau menjalin hubungan dengan saya sampai akhirnya kami menikah.” Hal ini, menurut Marijani, sebagai indikasi betapa Rizal Ramli sangat terbuka menerima perbedaan-perbedaan dalam konteks perbedaan suku, agama dan budaya. ”Itu yang harus diperlihatkan dan dilaksanakan, jadi bukan cuma sekedar simbol atau janji kosong. Kenyataannya kita masih membeda-bedakan suku, kaum, bangsa dan agama dan tidak berbicara tentang Pancasila lagi,” tegas Marijani.
Pemilu nanti, ia berharap umat Kristen tidak terprovokasi oleh berbagai tokoh-tokoh berlabel agama . ”Tapi saya melihat rakyat kita karena memang belum mendapat hikmat, masih tinggal didalam kebodohan dan kemiskinan, mereka melakukan tindakannya itu dengan berpikir pendek. Ketika datang orang-orang yang gila kekuasaan, lalu menjual-belikan hak suara mereka, mereka pun rela menjual suara mereka dengan uang 30ribu, 50ribu. Saya melihat bahwa jangan sampai kita mengulangi lagi kesalahan seperti Esau, Marijani mengutip kisah populer dalam Alkitab, ketika pada waktu dia lapar, ketika ditawar hak kesulungannya yang dijual dengan semangkok kacang merah, dan akhirnya Allah bilang ”Aku membenci Esau”. Kenapa Allah berkata demikian, karena Esau tidak punya visi dan misi dalam hidupnya. Dia rela menjual hak kesulungannya dengan semangkok kacang merah. Ini teguran bagi seluruh rakyat kita, untuk tidak bertindak bodoh. Marijani juga menghimbau agar umat Kristen dimanapun berada, tidak terbuai dengan ’kenyamanan’ diri sendiri. ”Jangan hanya menjadi garam di laut, tetapi jadilah terang dan garam dunia”. [Saraoshi]
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.